Ya, ia baru saja selesai meniup lilin ulang tahun. Ketika gema lagu “selamat ulang tahun dan panjang umurnya” selesai, walau ada yang salah ucap menjadi “panjang ususnya” pesta dilanjutkan dengan peniupan lilin dan pembagian ulang tahun. Terus saja acara dilanjutkan dengan mencium pipi gadis itu, “sengok-sengok” dan pesta berlanjut.
Ya, ia baru saja selesai meniup lilin ulang tahun. Ketika gema lagu “selamat ulang tahun dan panjang umurnya” selesai, walau ada yang salah ucap menjadi “panjang ususnya” pesta dilanjutkan dengan peniupan lilin dan pembagian ulang tahun. Terus saja acara dilanjutkan dengan mencium pipi gadis itu, “sengok-sengok” dan pesta berlanjut.
“Mbok kalau Gusti Pangeran mengijinkan, saya tak mati saja. Rasanya saya sudah capek hidup di dunia ini. Semua teman saya sudah tidur dengan tenang di alam arwah sana, sementara saya, malah hidup terus dengan penyakit tua yang makin menggerogoti badan saya,” Ucap seorang pria tua berusia 88 tahun, yang “mendamba” kematian. Baginya, semakin cepat “panggilan pulang” hadir, semakin senang pula ia. Baginya, apa artinya hidup lama jika penyakit yang macam-macam selalu hadir dalam hari-hari panjangnya.
Ada kontradiksi di sini. Pada ulang tahun gadis cantik tadi, semua orang mengharap agar umur panjang, panjang rejeki, jodoh, dan panjang segala-galanya…Sementara, orang tua tadi begitu mendamba kematian.
Namun ada satu yang pasti, manusia pasti mati. Berapa pun umurnya, pasti mati. Bahkan Nabi Nuh, yang konon berusia 800 tahun, akhirnya beliau wafat.
Saya rasa tidak ada satu orang pun yang membantah hal ini, walau cerita-cerita popular di Barat ada yang meragukan kepastian ini. Hikayat Vampire pengisap darah, adalah tokoh yang bisa hidup terus sepanjang masa. Mereka hanya bisa mati jika kena sinar matahari atau kena belati kayu yang sudah diberi mantra, dan itu pun harus bisa ditusukkan tepat di tengah jantungnya. Jika hanya mengenai lengan, apalagi rambut, jelas vampire itu tidak mati.
Hidup langgeng, secara bawah sadar, adalah dambaan semua orang. Anda tidak ingin hidup langgeng? Ah, yang benar saja. O, mungkin ada syarat, kita inginnya hidup langgeng yang sehat, muda terus, dan tentu saja harus bahagia. Begitu bukan keinginan anda? Tapi, celakanya, hidup seperti itu tidak ada.
Tapi harapan hidup abadi selalu bergema di ruang batin semua orang. Harapan mereka sekarang diarahkan pada yang lain, yaitu perusahaan. Secara logika, semestinya semua perusahaan harus bisa hidup selamanya. Mengapa? Karena bukankah karyawan yang tua bisa digantikan oleh yang muda? Yang pensiun diganti tenaga segar. Otak tua diganti otak muda. Bukankah seharusnya bisa hidup sepanjang masa?
Perusahaan tempat saya bekerja, PT. Pos Indonesia, termasuk sudah sangat tua. Kantor pos yang pertama kali didirikan, adalah tahun 1864 di Batavia. Jadi Pos saat ini sudah berusia 142 tahun. Jika ia manusia, ia tentulah sudah sangat renta. Tapi jika ia awet muda, ia mungkin sudah berpengalaman kawin 3 atau 4 kali, karena istri-istrinya sudah wafat duluan.
Sementara itu, kantor tempat istri saya bekerja, sudah “wafat” lama. Ketika kami pacaran, saya selalu dengan bangga melihat tulisan di mana-mana, “Tanah ini milik BHS Bank.” Ketika saya tanya apa singkatannya BHS, dengan antusias “pacar” saya menjawab, “Bank Harapan Suram.” Sekarang bank itu sudah almarhum. Saya yakin bank itu masih belum terlalu “tua” ketika ia meninggal.
Ketika saya sering naik pesawat, saya saat itu merasa bangga. Pramugari dan pramugara yang melayani pesawat itu cantik dan ganteng. Naik pesawat itu, dan kemudian bercerita pengalaman kepada teman-teman saya, membuat saya makin bangga. Sempati, nama maskapai itu, sekarang sudah almarhum.
Deretan perusahaan kelas atas yang almarhum begitu banyak, mulai dari Bank Bali, Bank Duta, hingga bank Putera Sukapura. Apakah Sempati, BHS, dan bank-bank itu termasuk jelek kinerjanya? Apakah layanan mereka kepada pelanggan sedemikian buruknya sehingga ditinggalkan oleh pelanggannya? Tidak. Menurut saya, layanan mereka baik, bahkan Bank Bali, sangat baik. Jika baik, mengapa mereka harus sudah “meninggal?”
Sementara itu, Pos, si tua renta, masih bisa hidup dan bernafas. Bahkan, dengan manajemen strategi yang lumayan tepat di akhir-akhir ini, Pos menjalani semacam “mutasi sel” sehingga beberapa sel-selnya menjadi remaja (rejuvenated) dan bisa jadi sel remaja itu mempengaruhi sel-sel tua lainnya dan beralih menjadi remaja, yang akhirnya bisa hidup terus.
Menghadapi misteri kematian, memang menakutkan, sekaligus membangkitkan rasa ingin tahu yang besar. Ingrid Bonn, dari Griffith University Australia, juga tertarik melihat fenomena itu. Ia ingin melihat mengapa satu perusahaan bisa hidup terus, sementara lainnya sudah mati lebih dulu. Faktor apa yang menjadi penyebab hidup dan matinya perusahaan.
Melalui studinya terhadap 63 perusahaan di Australia, dan menguji 1000 variabel yang diperkirakan berpengaruh terhadap kelanggengan perusahaan, ia menemukan fakta-fakta menarik. Ia menemukan ada lima faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap daya tahan perusahaan. Faktor itu adalah: 1) Ukuran perusahaan, 2) sistem perencanaan, 3) arah perusahaan, 4) penelitian dan pengembangan, 5) karakteristik kepemilikan.
1. Ukuran perusahaan. Semakin besar ukuran perusahaan, semakin tinggi daya hidupnya. Dari penelitiannya, Inggrid menemukan bahwa perusahaan di Australia yang berpenghasilan lebih dari 279 juta dolar Australia, lebih berpeluang hidup dibanding perusahaan yang berpenghasilan di bawah itu.
Pertanyaannya, mengapa perusahaan yang berpenghasilan besar itu jauh lebih lestari hidupnya? Dari literature kita tahu bahwa perusahaan besar jelas memiliki keunggulan dalam skala ekonomi. Mereknya dikenal luas, mereka juga bisa “bargain” lebih baik dengan pemasok dan distributor. Secara umum, mereka memang memiliki “kekuatan” yang lebih di pasar.
Walau demikian, perusahaan ini juga memiliki kelemahan, misalnya birokrasi, struktur organisasi yang ruwet yang bisa menghalangi kecepatan mereka unggul di pasar. Menghadapi keadaan seperti itu, para pemimpinnya harus mampu merumuskan manajemen strategi yang tepat. Jika tidak, keruwetan itu akan mengurangi "daya hidup" perusahaan tersebut.
2. Sistem Perencanaan. Dari penelitian jelas terlihat bahwa perusahaan yang mempunyai sistem perencanaan strategis yang formal, lebih berpeluang hidup lama dibanding yang tidak. Literatur juga menegaskan manfaat strategic planning ini, walau beberapa ahli seperti Quinn (1980) dan Mintzberg (1994) mempertanyakan manfaat itu. Ketika perusahaan mempunyai perencanaan strategis yang formal, mereka bisa mengidentifikasi ancaman dan peluang yang ada di sekitarnya. Ketika mereka menangkap peluang itu, dengan rencana formalnya, mereka bisa mengalokasikan waktu dan sumber daya yang tersedia di perusahaan itu. Di samping itu, dengan rencana formal itu, bisa memberi nilai simbolis kepada “stakeholder” bahwa perusahaan itu memang proaktif terhadap arah perusahaan itu di masa datang.
3. Adanya arah yang jelas bagi perusahaan. Ketika perusahaan menyusun perencanaan strategis, jelas harus ditentukan dulu arah yang jelas dari perusahaan. Ini pelajaran penting bagi para pemimpin. Ketika anda memimpin, anda harus dengan jelas ke arah mana anda menuju. Jangan pernah biarkan bawahan anda bertanya atau menggerundel, “Akan dibawa ke mana perusahaan ini?”
4. Komitmen terhadap penelitian dan pengembangan. Dari penelitian itu, ternyata perusahaan yang mengalokasikan lebih dari 1% dari pendapatan untuk penelitian, ternyata berpeluang hidup lebih lama dibanding yang mengalokasikan jumlah yang sedikit. Hasil ini juga sejalan dengan beberapa penelitian lain seperti dilakukan oleh Franko (1989) dan Capon (1990).
5. Kepemilikan. Ketika kepemilikan ditangan perusahaan asing, potensi hidup perusahaan lebih tinggi dibanding perusahaan berada di tangan pengusaha lokal. Ini juga terjadi di Indonesia. Perusahaan asing seperti Unilever, Philips, termasuk Pos (dulu milik Belanda), ternyata memang lebih mampu hidup lebih lama.
Hasil penelitian itu memberi kita informasi, bahwa perencanaan yang formal masih begitu bermanfaat bagi perusahaan, walau beberapa ahli seperti Mintzberg meragukan keunggulan itu. Sebagai pemimpin, sebaiknya anda jangan melupakan perencanaan formal itu. Tentu, walau formal, kreativitas dalam perencanaan masih harus terus diusahakan. Intuisi, gut feelings, masih harus diperhitungkan.
Selain itu, jangan lupa memberi arah yang jelas terhadap perusahaan. Orang sering menamakan arah ini dengan visi. Tentu tidak cukup hanya perencanaan formal dan visi saja, anda harus melaksanakan rencana dan visi itu. Tanpa itu, rencana tadi hanya berujud slogan-slogan indah yang terpasang di dinding-dinding dan di laporan keuangan yang tidak ada artinya apa-apa. Jika hanya itu yang anda lakukan, jangan-jangan “pintu kubur” perusahaan anda memang sudah terbuka lebar-lebar.
Dikutip dari pemimpin-unggul
“Mbok kalau Gusti Pangeran mengijinkan, saya tak mati saja. Rasanya saya sudah capek hidup di dunia ini. Semua teman saya sudah tidur dengan tenang di alam arwah sana, sementara saya, malah hidup terus dengan penyakit tua yang makin menggerogoti badan saya,” Ucap seorang pria tua berusia 88 tahun, yang “mendamba” kematian. Baginya, semakin cepat “panggilan pulang” hadir, semakin senang pula ia. Baginya, apa artinya hidup lama jika penyakit yang macam-macam selalu hadir dalam hari-hari panjangnya.
Ada kontradiksi di sini. Pada ulang tahun gadis cantik tadi, semua orang mengharap agar umur panjang, panjang rejeki, jodoh, dan panjang segala-galanya…Sementara, orang tua tadi begitu mendamba kematian.
Namun ada satu yang pasti, manusia pasti mati. Berapa pun umurnya, pasti mati. Bahkan Nabi Nuh, yang konon berusia 800 tahun, akhirnya beliau wafat.
Saya rasa tidak ada satu orang pun yang membantah hal ini, walau cerita-cerita popular di Barat ada yang meragukan kepastian ini. Hikayat Vampire pengisap darah, adalah tokoh yang bisa hidup terus sepanjang masa. Mereka hanya bisa mati jika kena sinar matahari atau kena belati kayu yang sudah diberi mantra, dan itu pun harus bisa ditusukkan tepat di tengah jantungnya. Jika hanya mengenai lengan, apalagi rambut, jelas vampire itu tidak mati.
Hidup langgeng, secara bawah sadar, adalah dambaan semua orang. Anda tidak ingin hidup langgeng? Ah, yang benar saja. O, mungkin ada syarat, kita inginnya hidup langgeng yang sehat, muda terus, dan tentu saja harus bahagia. Begitu bukan keinginan anda? Tapi, celakanya, hidup seperti itu tidak ada.
Tapi harapan hidup abadi selalu bergema di ruang batin semua orang. Harapan mereka sekarang diarahkan pada yang lain, yaitu perusahaan. Secara logika, semestinya semua perusahaan harus bisa hidup selamanya. Mengapa? Karena bukankah karyawan yang tua bisa digantikan oleh yang muda? Yang pensiun diganti tenaga segar. Otak tua diganti otak muda. Bukankah seharusnya bisa hidup sepanjang masa?
Perusahaan tempat saya bekerja, PT. Pos Indonesia, termasuk sudah sangat tua. Kantor pos yang pertama kali didirikan, adalah tahun 1864 di Batavia. Jadi Pos saat ini sudah berusia 142 tahun. Jika ia manusia, ia tentulah sudah sangat renta. Tapi jika ia awet muda, ia mungkin sudah berpengalaman kawin 3 atau 4 kali, karena istri-istrinya sudah wafat duluan.
Sementara itu, kantor tempat istri saya bekerja, sudah “wafat” lama. Ketika kami pacaran, saya selalu dengan bangga melihat tulisan di mana-mana, “Tanah ini milik BHS Bank.” Ketika saya tanya apa singkatannya BHS, dengan antusias “pacar” saya menjawab, “Bank Harapan Suram.” Sekarang bank itu sudah almarhum. Saya yakin bank itu masih belum terlalu “tua” ketika ia meninggal.
Ketika saya sering naik pesawat, saya saat itu merasa bangga. Pramugari dan pramugara yang melayani pesawat itu cantik dan ganteng. Naik pesawat itu, dan kemudian bercerita pengalaman kepada teman-teman saya, membuat saya makin bangga. Sempati, nama maskapai itu, sekarang sudah almarhum.
Deretan perusahaan kelas atas yang almarhum begitu banyak, mulai dari Bank Bali, Bank Duta, hingga bank Putera Sukapura. Apakah Sempati, BHS, dan bank-bank itu termasuk jelek kinerjanya? Apakah layanan mereka kepada pelanggan sedemikian buruknya sehingga ditinggalkan oleh pelanggannya? Tidak. Menurut saya, layanan mereka baik, bahkan Bank Bali, sangat baik. Jika baik, mengapa mereka harus sudah “meninggal?”
Sementara itu, Pos, si tua renta, masih bisa hidup dan bernafas. Bahkan, dengan manajemen strategi yang lumayan tepat di akhir-akhir ini, Pos menjalani semacam “mutasi sel” sehingga beberapa sel-selnya menjadi remaja (rejuvenated) dan bisa jadi sel remaja itu mempengaruhi sel-sel tua lainnya dan beralih menjadi remaja, yang akhirnya bisa hidup terus.
Menghadapi misteri kematian, memang menakutkan, sekaligus membangkitkan rasa ingin tahu yang besar. Ingrid Bonn, dari Griffith University Australia, juga tertarik melihat fenomena itu. Ia ingin melihat mengapa satu perusahaan bisa hidup terus, sementara lainnya sudah mati lebih dulu. Faktor apa yang menjadi penyebab hidup dan matinya perusahaan.
Melalui studinya terhadap 63 perusahaan di Australia, dan menguji 1000 variabel yang diperkirakan berpengaruh terhadap kelanggengan perusahaan, ia menemukan fakta-fakta menarik. Ia menemukan ada lima faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap daya tahan perusahaan. Faktor itu adalah: 1) Ukuran perusahaan, 2) sistem perencanaan, 3) arah perusahaan, 4) penelitian dan pengembangan, 5) karakteristik kepemilikan.
1. Ukuran perusahaan. Semakin besar ukuran perusahaan, semakin tinggi daya hidupnya. Dari penelitiannya, Inggrid menemukan bahwa perusahaan di Australia yang berpenghasilan lebih dari 279 juta dolar Australia, lebih berpeluang hidup dibanding perusahaan yang berpenghasilan di bawah itu.
Pertanyaannya, mengapa perusahaan yang berpenghasilan besar itu jauh lebih lestari hidupnya? Dari literature kita tahu bahwa perusahaan besar jelas memiliki keunggulan dalam skala ekonomi. Mereknya dikenal luas, mereka juga bisa “bargain” lebih baik dengan pemasok dan distributor. Secara umum, mereka memang memiliki “kekuatan” yang lebih di pasar.
Walau demikian, perusahaan ini juga memiliki kelemahan, misalnya birokrasi, struktur organisasi yang ruwet yang bisa menghalangi kecepatan mereka unggul di pasar. Menghadapi keadaan seperti itu, para pemimpinnya harus mampu merumuskan manajemen strategi yang tepat. Jika tidak, keruwetan itu akan mengurangi "daya hidup" perusahaan tersebut.
2. Sistem Perencanaan. Dari penelitian jelas terlihat bahwa perusahaan yang mempunyai sistem perencanaan strategis yang formal, lebih berpeluang hidup lama dibanding yang tidak. Literatur juga menegaskan manfaat strategic planning ini, walau beberapa ahli seperti Quinn (1980) dan Mintzberg (1994) mempertanyakan manfaat itu. Ketika perusahaan mempunyai perencanaan strategis yang formal, mereka bisa mengidentifikasi ancaman dan peluang yang ada di sekitarnya. Ketika mereka menangkap peluang itu, dengan rencana formalnya, mereka bisa mengalokasikan waktu dan sumber daya yang tersedia di perusahaan itu. Di samping itu, dengan rencana formal itu, bisa memberi nilai simbolis kepada “stakeholder” bahwa perusahaan itu memang proaktif terhadap arah perusahaan itu di masa datang.
3. Adanya arah yang jelas bagi perusahaan. Ketika perusahaan menyusun perencanaan strategis, jelas harus ditentukan dulu arah yang jelas dari perusahaan. Ini pelajaran penting bagi para pemimpin. Ketika anda memimpin, anda harus dengan jelas ke arah mana anda menuju. Jangan pernah biarkan bawahan anda bertanya atau menggerundel, “Akan dibawa ke mana perusahaan ini?”
4. Komitmen terhadap penelitian dan pengembangan. Dari penelitian itu, ternyata perusahaan yang mengalokasikan lebih dari 1% dari pendapatan untuk penelitian, ternyata berpeluang hidup lebih lama dibanding yang mengalokasikan jumlah yang sedikit. Hasil ini juga sejalan dengan beberapa penelitian lain seperti dilakukan oleh Franko (1989) dan Capon (1990).
5. Kepemilikan. Ketika kepemilikan ditangan perusahaan asing, potensi hidup perusahaan lebih tinggi dibanding perusahaan berada di tangan pengusaha lokal. Ini juga terjadi di Indonesia. Perusahaan asing seperti Unilever, Philips, termasuk Pos (dulu milik Belanda), ternyata memang lebih mampu hidup lebih lama.
Hasil penelitian itu memberi kita informasi, bahwa perencanaan yang formal masih begitu bermanfaat bagi perusahaan, walau beberapa ahli seperti Mintzberg meragukan keunggulan itu. Sebagai pemimpin, sebaiknya anda jangan melupakan perencanaan formal itu. Tentu, walau formal, kreativitas dalam perencanaan masih harus terus diusahakan. Intuisi, gut feelings, masih harus diperhitungkan.
Selain itu, jangan lupa memberi arah yang jelas terhadap perusahaan. Orang sering menamakan arah ini dengan visi. Tentu tidak cukup hanya perencanaan formal dan visi saja, anda harus melaksanakan rencana dan visi itu. Tanpa itu, rencana tadi hanya berujud slogan-slogan indah yang terpasang di dinding-dinding dan di laporan keuangan yang tidak ada artinya apa-apa. Jika hanya itu yang anda lakukan, jangan-jangan “pintu kubur” perusahaan anda memang sudah terbuka lebar-lebar.
Dikutip dari pemimpin-unggul